Pornografi selalu menjadi kambing hitam dari segala outlet media sebagai faktor perusak moral, hampir semua media arus utama pernah menyalahkan pornografi sebagai sumber kriminalitas. Bahkan, seorang mahasiswa Univertas Sumatera Utara pernah mencoba mengkorelasikan dampak pornografi dengan kriminalitas dalam skripsinya yang berjudul “Pornografi Sebagai Penyebab Timbulnya Kejahatan Kesusilaan Terhadap Anak”. Ia hanya menampilkan satu kasus dalam skripsinya.

Argumen bahwa Pornografi tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat sedikit dipertanyakan mengingat konsumsi pornografi di Indonesia sebanding dengan negara barat.


Menariknya dari data di atas adalah penggunaan kata “bokep” ketimbang “porno” bahkan “porn” mulai sangat populer. Sepertinya mulai ada permintaan tinggi terhadap pornografi lokal.

Tapi lepas dari tabiat pencarian pornografi Indonesia, ternyata pengaruh pornografi terhadap teknologi cukup tinggi. Jonathan Coopersmith, sampai mengatakan bahwa produk pornografi memiliki andil dalam merangsang ketertarikan awal dalam teknologi baru, terlepas dari harganya yang tinggi. Entah ini berarti penikmat pornografi rela untuk mengeluarkan uang lebih untuk mengkonsumsi pornografi atau volume konsumsi pornografi begitu besarnya sehingga ongkos produksinya menjadi minor. Pengarusutamaan teknologi ini tidak hanya dirasakan belakangan ini, tetapi dari awal waktu.

Di dunia film misalnya, film porno pertama muncul pada tahun 1896, hanya berselang dua tahun setelah teknologi film itu sendiri, pada masa itu sensor belum terlalu memperhatikan isu-isu dalam film, dan (mungkin) masih terlalu sibuk membakar buku, sehingga media ini cukup populer dalam menampilkan konten seperti itu . Pada awal 1900an ditemukan mutoscope — semacam teater mini dengan fungsi memainkan film pendek berdurasi beberapa detik hingga satu menit dengan konten kurang penting, semacam buyutnya YouTube — penggunaannya? tentu saja porno. Mutoscope sangat populer dalam penggunaannya terutama karena alat ini memberikan semacam privasi untuk mengkonsumsi konten secara pribadi, popularitas hanya mati karena desimasi uang yang terjadi pada saat itu. Adaptasi cepat oleh pornografi membuatnya semacam industri yang terdepan dalam teknologi dan sebaliknya mendukung perkembangan teknologi film. Salah satu contoh keterdepanannya yang begitu berpengaruh membangun pasar untuk teknologi adalah merebaknya VCR. Seperti Mutoscope, VCR memberikan privasi yang jauh lebih tinggi untuk mengkonsumsi film pornografi ketimbang bioskop dewasa. Inovasi dan implementasi adaptor VCR untuk format PAL ke NTSC kurang lebih diakibatkan kebutuhan pasar Jerman untuk menonton pornografi Amerika Serikat. Pada tahun 1986 Merill Lynch menemukan dalam penelitiannya bahwa pada tahun 1970 kaset video porno adalah 50% dari seluruh penjualan kaset video.

Data 2014 menunjukan bahwa rata-rata pertahun industri porno mengeluarkan 11.000 film dengan pendapatan rata-rata 13,3 miliar USD, setara dengan pendapatan kotor Box Office 2014 (13,5 miliar USD).


Teknologi dan Pornografi di Indonesia

Sejak 1970an film panas sudah akrab kita kenal, sejak Eva Arnaz, hingga Febby Lawrence, hingga Dewi Persik bukan pornografi persisnya memang, tetapi cukup menantang dan inilah yang laku di pasaran. Kalau kita lihat poster-poster masa itu, dada terbuka sama sekali bukan masalah. Implikasi ekonominya mudah : semakin banyak orang menonton film –>  semakin untung produsen film –> semakin besar industrinya –> semakin banyak orang yang ingin masuk industri tersebut dan membeli teknologi produksinya –> semakin murah mengembangkan teknologinya –> semakin luas adopsi teknologi tersebut –> semakin murah ongkos produksinya –> semakin banyak lagi orang yang menonton film –> dst. — ini mungkin terlalu disimplifikasi tapi paham lah ya.


poster Tawanan Perang (1983) dibintangi Marissa Haque

Dalam media digitalpun konten yang dikonsumsi orang selalu berbau seks. Keberhasilan kaskus misalnya harus diatribusikan sebagian pada forum BB17. Detik.com mendapatkan banyak sekali pengguna yang rela login melalui artikel 18+. Seks menjual. Lebih dari itu, seks mendorong adopsi teknologi di level non-teknis/non-bisnis, kalau mengingat pada jaman dahulu teknologi transfer file sebelum bluetooth seperti Infrared aplikasi pertama yang dilakukan oleh teman-teman adalah berbagi foto dan video porno. Kita memahami transfer data karena kebutuhan berbagi porno!